-->

Translate This Blog

19.8.18

Pokok-Pokok Ilmu Laduni dan Cara Mendapatkannya

Pokok-Pokok Ilmu Laduni

Selama ini masih ada sebagian kaum muslim yang meragukan adanya penganugerahan ilmu dari Allah secara langsung (ilmu laduni) kepada seseorang yang dikehendaki-Nya dengan argumentasi bahwa Allah  sudah menurunkan Al-Quranul Karim sebagai rujukan dari berbagai pengetahuan (ilmu) yang dipelajari oleh manusia. Untuk itu, tulisan ini akan membahas popok-pokok ilmu laduni dan cara mendapatkannya yang patut untuk diketahui.

Wajar saja bila ada perbedaan dalam memahami akan kemahakuasaan Allah menganugerahkan ilmu laduni. Allah sendiri telah menerangkan bahwa ada dua kelompok orang yang tidak sama dalam merespon ayat-ayat Allah, yakni orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan dan orang-orang yang mendalam ilmunya.

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (Q.S. Ali Imron : 7).

Dari ayat tersebut, maka jelaslah ada orang yang hatinya gelap tanpa petunjuk dan ada orang yang diberi ilmu mendalam di hatinya. Orang yang disebut terakhir inilah yang telah mendapatkan ilmu laduni. 
  
Saudaraku, ilmu adalah suatu pengetahuan yang dapat memberikan manfaat kepada yang mempelajarinya. Andaikan ada seorang mukmin belajar tentang ilmu tauhid, misalnya, maka ia akan mendapatkan pengetahuan dari ilmu tersebut (tauhid). Tetapi, tidak semua orang yang belajar ilmu tauhid memperoleh pengetahuan yang mendalam dari ilmu yang dipelajarinya karena hal-hal tertentu, terkait dengan tidak dapat masuk ilmu tersebut (tauhid) ke dalam jiwanya.

Jika ilmu yang dipelajari seseorang (mukmin) dapat meresap ke dalam jiwanya, maka itu berarti ilmu tersebut telah menjadi pengetahuan baginya. Lebih dari sebatas itu, dia telah ditanamkan oleh Allah kemampuan mengetahui ilmu tersebut. Inilah anugerah yang dikehendaki oleh Allah . Inilah yang disebut sebagai ilmu laduni.

Dalam pemahaman tentang ilmu laduni (laddunniyah robbaniyah), ilmu yang disebut terdahulu (tauhid) tidak dipelajari secara literal, selain diperoleh secara langsung di dalam dirinya. Dadanya penuh ilmu yang telah ditanamkan oleh Allah  disebabkan karena Allah telah berkehendak sebagaimana yang ditetapkannya tanpa campur tangan dari makhluk-Nya. Ilmu yang seperti ini di dalam Al-Quran dikenal dengan Al-Hikmah.

“Allah menganugrahkan al-hikmah (pemahaman yang mendalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (QS. Al-Baqarah : 269).

Maka, yang disebut ilmu laduni adalah ilmu yang dianugerahkan Allah kepada orang-orang yang senantiasa tunduk dan patuh kepada-Nya. Kehendak Allah ditujukan agar setiap kaum mukmin yang menggunakan akalnya dapat mengambil pelajaran dari ayat-Nya ini. Allah  berkehendak demikian untuk mengajak kepada kaum mukmin agar berkhidmat kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya.

Jadi, tidaklah mustahil ada sebahagian kaum mukmin mendapatkan ilmu laduni atau Al-Hikmah. Derajat semacam ini disebabkan Dia (Allah) telah mencintainya (kaum mukmin) tadi. Adakah seorang mukmin dapat dicintai oleh Allah dengan kehendak-Nya? Ada, itu pasti. Allah adalah Tuhan Yang Maha Penyayang kepada kaum mukmin yang senantiasa tunduk dan patuh kepada-Nya.

Anugerah Al-Hikmah kepada manusia, selain Nabi dan Rasul-Nya, sudah ada dijelaskan di dalam Al-Quran. Contohnya adalah Ibunda Maryam yang diajarkan Al-Hikmah oleh Allah. Allah berfirman mengenai pengajaran-Nya tersebut sebagai berikut:

“Dan Allah akan mengajarkan kepadanya (Maryam) Al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil” (QS. Ali Imron : 48).

Para wali Allah, sebagaimana dapat dibaca dari kitab-kitabnya, misalnya, adalah termasuk contoh lainnya. Mereka, semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka, dapat menulis banyak kitab tanpa menyandarkan kepada kitab-kitab yang ada sebelumnya yang ditulis oleh ahlinya, selain Al-Quran dan Hadits. Pengetahuannya didapatkan secara langsung dari dalam hatinya. Tulisan-tulisannya merujuk kepada ilmu-Nya yang diperoleh dari ‘Kitab Yang Hidup’ yang tersimpan di dalam cahaya-Nya. Dalam kalimat sederhana, pengetahuan para wali Allah diperoleh tidak secara literal, melainkan dia mendapati pengetahuan tersebut berdasarkan ilham (pengetahuan mendalam) yang memancar dari dalam jiwanya (hatinya). Dan, itulah yang dimaksud dengan ilmu laduni.

Namun demikian, pengetahuan yang diajarkan kepada wali sama sekali berbeda dengan wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Wahyu merupakan firman yang disampaikan oleh Allah melalui perantaraan Jibril a.s. dan dijadikan Pedoman (Kitab Pegangan) bagi seluruh umat manusia. Sedangkan ilham atau Al-Hikmah atau ilmu laduni (laddunniyah robbaniyah) merupakan pengetahuan yang tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk semua umat manusia, selain Al-Hikmah tersebut sangat membantu wali-Nya mudah mengetahui seluruh perkara yang tidak dapat dijangkau oleh akal (pemikiran logis intelektual).

Apabila ada yang meyakini akan kebenarannya (Al-Hikmah) tersebut, tentu saja, sangat membantu memudahkan bagi siapa pun kaum mukmin dalam menempuh perjalanan menuju kepada-Nya (thariqah). Dengan perantaraan Al-Hikmah itulah, seorang wali Allah akan menguraikan setiap hal berdasarkan pemahaman yang diajarkan oleh Allah (Al-Hikmah atau ilham atau ilmu laduni -- laddunniyah robbaniyah) sehingga tampak dia dapat menguasainya tanpa menemukan kesulitan.

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” (QS. Az-Zumar : 22).

Al-Hikmah atau ilmu laduni yang diajarkan kepada wali Allah berbeda dengan Al-Hikmah yang diajarkan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dengan Al-Hikmah itu pulalah seorang wali diajarkan langsung, selain oleh Allah (dengan cahaya-Nya, karena cahaya-Nya adalah ilmu-Nya), juga oleh Nabi dan Rasul saw. Berdasarkan hal itu, maka seorang wali dengan seizin Allah senantiasa dapat berhubungan langsung dengan beliau di dalam kekuasaan-Nya.

Dengan Al-Hikmah atau ilmu laduni, seorang Nabi juga dapat mengajarkan kepada Nabi yang lain. Allah berfirman:

“Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (QS. Al-Kahfi : 66).

Pokok-Pokok Ilmu Laduni


Demikian juga, seorang wali dapat memperoleh pengetahuan yang diajarkan oleh beliau (Khidhr a.s.). Seterusnya orang mengenalnya dengan sebutan ilmu laduni. Pokok-pokok ilmu laduni, dengan demikian, dapat dibagi ke dalam dua bagian. 

Pertama, Allah  dengan kebijaksanaan-Nya mengajarkan Al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki: seorang Nabi atau Rasul, seorang wali Allah atau kaum muttaqin. Dalam pengajaran tentang ayat-ayat-Nya, Allah menurunkan malaikat Jibril a.s. untuk menyampaikan kepada Rasul-Nya. Pesan-pesan yang disampaikan-Nya itu disebut wahyu. Adapun pengajaran yang disampaikan selain kepada Nabi dan Rasul-Nya, maka dalam hal itu, Allah menurunkan ilmu-Nya dengan banyak cara:

1. Mengajarkan ilmu laduni atau Al-Hikmah (dalam hal ini disebut ilham atau pemahaman yang mendalam dalam memaknai ayat-ayat Allah dan berbagai hal lainnya yang sulit dijangkau oleh kecerdasan akal semata-mata) kepada seorang wali Allah (aulia Allah). Pemahaman yang mendalam ini merupakan karunia khusus yang diberikan kepada wali-Nya;

2. Mengajarkan ilmu laduni atau Al-Hikmah (pengetahuan robbaniyah atau keilahian), yang karena itu dia dapat mengenal Tuhannya, kepada orang-orang bertakwa (makrifat) atau sering disebut ‘arif billah atau ‘irfanillah. Seorang yang sudah diperkenankan memandang wajah-Nya dikaruniai oleh Allah mengetahui rahasia Allah yang tidak diketahui oleh kebanyakan kaum beriman yang belum berkhidmat (bersungguh-sungguh melalui sebuah perjuangan tanpa mengenal lelah dan beristiqamah dalam menjalaninya) untuk mendekati Dia (Allah) Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana;

3. Mengajarkan Al-Hikmah (pengetahuan goibisasi), sekalipun bukan ilmu laduni, sebagaimana diajarkan kepada wali Allah atau sudah mencapai derajat makrifat, kepada kaum mukmin yang sedang bergeliat rasa keberimanannya;

4. Mengajarkan Al-Hikmah (pengenalan akan kemahabesaran Allah) sampai Allah berkenan menganugerahkan pengetahuan tentang rahasia Allah kepada orang-orang beriman yang sedang menempuh perjalanan menuju kepada-Nya (thariqah);

5. Mengajarkan Al-Hikmah (pengetahuan syari’ah atau hukum-hukum pengaturan tatacara peribadatan atau ‘ubudiyyah, sebagaimana yang dipelajari oleh para pemikir Islam: para fuqaha, para muhaddits dan lain-lain keahlian tentang ilmu-ilmu keislaman), yang dengan itu, seseorang diberi kemudahan atas pengetahuan yang dipelajarinya secara mendalam;

6. Mengajarkan Al-Hikmah (pengenalan akan ketinggian kedudukan-Nya) kepada orang-orang beriman yang ahli ibadah.

Kedua, ilmu laduni diajarkan oleh Allah, selanjutnya diteruskan oleh Nabi dan Rasul-Nya kepada para wali-Nya. Dengan kebijaksanaan-Nya, Rasul saw dapat mengajarkan Al-Hikmah kepada seorang wali Allah secara langsung tanpa perantaraan. Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah ketika meninggikan dasar-dasar Baitullah:

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Baqarah : 129).

Demikian juga, seorang Nabi (selain Rasul Saaw) dapat meneruskan kebijaksanaan Allah (Al-Hikmah) kepada Nabi lainnya (seperti Khidhr kepada Musa a.s.), seorang wali Allah, kaum muttaqin (‘arif billah atau ‘irfanillah), kaum mukmin yang menempuh perjalanan (thariqah) mendekati puncak kesufiannya, kaum mukmin yang mempelajari ilmu kalam (diperoleh melalui pemberian kemudahan memahami tanpa disadari oleh kecerdasan intelejensinya sendiri)!

Al-Hikmah juga dapat diajarkan, dengan kebijaksanaan Allah, dari seorang wali Allah kepada murid-muridnya. Allah sangat menyayangi hamba-hamba-Nya yang senantiasa mengingat-Nya. Dengan kedudukannya di sisi Allah, seorang wali Allah (aulia Allah) di dalam hatinya memancar cahaya-Nya sehingga sangat terang benderang bertaburkan ilmu Allah! Dengan cahaya-Nya itulah dia dapat mengajarkan Al-Hikmah kepada murid-muridnya.

Maqam orang mukmin yang dianugerahi ilmu laduni atau Al-Hikmah, dengan demikian, bukanlah maqam sekedar diperuntukkan hanya pada orang-orang tertentu, melainkan harus diperjuangkan dengan sepenuh jiwa untuk mencintai-Nya. Mencintai-Nya menyebabkan Dia (Allah) berkenan menurunkan kebijaksanaan-Nya (Hikmah)! Dengan cara seperti itu, maka siapa pun kaum mukmin dapat meraihnya.

Pelajaran ilmu-lmu keislaman akan mudah dipahami sekiranya telah dianugerahi ilmu laduni. Pertama, Allah  akan senantiasa menunjuki apa, bagaimana dan mengapa adanya Islam sebagai agama yang diridoi Allah. Kedua, pokok-pokok ajaran Islam yang harus dipelajari, dipahami dan diamalkan akan lebih mudah dikuasai. Ketiga, agama sebagai penuntun bagi pemeluknya tidak hanya sebatas pengakuan, melainkan betul-betul sebagai pedoman hidup yang dapat mengantarkan dirinya (umat Islam) kepada keridoan Allah Azza wa Jalla.

Dengan ilmu laduni, seorang yang telah mendapatkannya seolah tak pernah kebingungan menjalani kehidupan di dunia karena Allah  senantiasa memberinya ilmu yang mendalam. Dalam hal memahami ayat-ayat Allah, melalui ilmu laduni yang dianugerahkan Allah, seorang akan dengan mudah memaknainya tanpa menemukan kesulitan. Dengan demikian, ilmu laduni menjadi pedoman hidup diri seseorang untuk memahami apa yang dikehendaki Allah bagi hamba-hamba-Nya agar selamat di dunia dan di akhirat.

Cara Mendapatkan Ilmu Laduni Harus Rendah Hati (Tawadhu)


Seorang yang sangat mengharap Al-Hikmah atau ilmu laduni akan cepat mendapatkannya apabila dapat merendahkan dirinya di hadapan Allah Azza wa Jalla; dengan kata lain, dia harus rendah hati dalam tutur kata, sikap dan perbuatannya. Kesombongan diri akan mempersulit untuk meraihnya.

Kesombongan sangat dibenci oleh Allah Azza wa Jalla. Sedangkan, Al-Hikmah atau ilmu laduni merupakan anugerah atau pemberian Allah kepada seorang yang dengan sepenuh jiwa mencintai-Nya. Maka, mustahil orang yang menyombongkan dirinya akan meraih Al-Hikmah atau ilmu laduni. Ini adalah syarat yang tak dapat terbantahkan.

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (Q.S. An-Nisa : 36).

Tampak jelas bagaimana Allah sangat membenci orang-orang yang sombong. Pertama, mereka (segenap umat manusia) yang tidak mau menyembah Allah sebagai Tuhan Yang Mahaesa. Keesaan-Nya sudah sangat jelas karena tidak ada Tuhan kecuali Allah/ Maka, kaum muslim yang tidak solat (Allah menyebutnya fasik) termasuk orang-orang yang sombong kepada Allah. 

Kedua, kaum muslim yang ahli ibadah tetapi masih cenderung bersekutu dengan iblis dalam ‘ubudiyah. Mereka menyekutukan Allah dengan terang-terangan maupun tersembunyi. Secara terang-terangan, persekutuan dilakukan dengan memuja berhala (yang dituhankan dapat menolong dirinya, meminta pertolongan kepada iblis dengan melakukan persembahan di tempat-tempat angker agar dapat mendatangkan pesugihan dan sebagainya). 

Sedangkan secara tersembunyi, dan termasuk dalam jumlah yang banyak, dilakukan oleh ahli ibadah yang selalu mengikuti bisikan iblis. Asumsinya: setan adalah musuh yang nyata (‘aduwwum mubin) yang harus diperangi oleh kaum mukmin. Apabila mengikuti ajakan iblis, maka berarti bersekutu (bermitra atau menjadikannya sebagai penolong dalam kejahatan). Seharusnya yang dijadikan penolong adalah Allah sebagai satu-satunya Pemilik atau Pencipta seluruh makhluk-Nya. Maka, apabila menjadikan setan sebagai penolong secara tersembunyi karena tidak ada perjuangan untuk melawan kejahatannya, berarti telah menduakan Tuhan (syirik).

Syirik yang dijelaskan pada bagian kedua tersebut sangat sulit bagi kaum mukmin untuk menghindarinya. Allah, karena itu, sangat menghendaki untuk segera bertobat dengan sebenar-benar bertobat sekiranya sangat berharap akan menyucikan jiwanya. Allah menganggap orang yang bertobat dengan diiringi beramal soleh disebut sebagai bertobat dengan sebenar-benarnya bertobat.

“Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya” (Q.S. Al-Furqan : 71).

Peringatan Allah sering ditimpakan kepada kaum mukmin yang belum juga mau bertobat. Sebagian ada yang menyadarinya dan sebagian lagi kembali kepada kejahatan sesudah diturunkan pertolongan Allah. Bagi yang menyadarinya, maka yang harus dilakukan adalah mengikuti perintah dan larangan Allah (beramal soleh). Orang beriman lagi beramal soleh disebut juga sebagai orang bertakwa. Allah  pasti akan mengangkatnya dari ‘dalam kerugian’. Surat Al-Ashr dapat dijadikan sebagai pegangan bagi kaum mukmin yang sangat berharap tidak berada di ‘dalam kerugian’.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran“ (Q.S. Al-‘Ashr : 1-3).

Beriman dan beramal soleh adalah suatu ketentuan yang tidak dapat dihindari agar memperoleh keberuntungan. Beramal soleh adalah perbuatan yang secara syar’i diamalkam bukan sekedarnya saja, tetapi sungguh-sungguh (hakiki), yakni tidak sebatas menjalankan perintah tetapi juga meninggalkan larangan-Nya. Tidak sekedar melaksanakan solat, tetapi juga mendirikannya. Artinya, tidak karena telah melakukan perintah wajib solat, maka boleh berbuat mungkar dan keji. 

Allah tidak akan menjadikan solatnya sebagai solat yang ditunaikan dengan sungguh-sungguh (hakiki) apabila pelaku solat masih melawan kedua orang tuanya, menjauhkan karib-kerabat, menghardik anak-anak yatim, membenci orang-orang miskin, bertengkar dengan tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, bermusuhan dengan teman sejawat, tidak menolong secara finansial ibnu sabil dan tidak memperhatikan dengan patut hamba sahaya (para peminta-minta, termasuk juga para pembantu, khususnya di rumah).

Demikian juga dengan peribadatan lainnya, seperti mengeluarkan zakat (juga infak dan sodakoh). Allah sangat membenci orang yang mengeluarkan zakat tetapi hanya untuk kebanggaan diri (dipuji oleh orang lain sebagai seorang muzakki yang patuh)! Mengeluarkan zakat dimaksudkan agar menyisihkan sebagian rezeki yang diperolehnya dari Allah dan, karena itu, ada hak orang lain yang berhak memperolehnya, bukan semata-mata harta miliknya sendiri. Mengeluarkan zakat ditujukan sesungguhnya agar diri menjadi bersih dari kekotoran, bukan mengotori dengan riya dan bangga diri. Ini hakikatnya zakat.

Allah juga menilai puasa kaum mukmin bukan sebatas mencegah untuk tidak makan dan minum di siang hari berpuasa, akan tetapi puasa sesungguhnya (hakikatnya) adalah dapat mengendalikan nafsu (nafsu syahwat, nafsu imajinasi dan nafsu amarah atau angkara murka). 

Begitu juga dalam menunaikan ibadah haji di Baitullah, seorang mukmin mengamalkannya untuk lebih mendudukkan dirinya rendah di hadapan Allah. Tidak ada perbedaan karena kedudukan di dunia, di hadapan Allah  sama-sama sebagai hamba-Nya. Karena itu, pak haji dan bu haji tidak patut kembali menjadi seorang mukmin yang angkuh dan menyombongkan diri dengan sesamanya.

Dengan kata lain, yang disebut beramal soleh adalah berbuat dengan sungguh-sungguh karena Allah, bukan sebatas sekedarnya saja. Secara syar’i dibenarkan dan juga mengetahui hakikatnya untuk tidak diabaikan.

Saya dapat menyimpulkan dalam hal ini sebagai berikut:

1. Al-Hikmah atau ilmu laduni adalah ilmu Allah yang dianugerahkan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah sesudah dengan sungguh-sungguh dia berjuang (jihad) dan berhijrah dari kegelapan menuju cahaya. Makna jihad berarti memerangi kebatilan di dalam dada manusia yang dihembuskan iblis agar tidak tunduk dan patuh kepada Allah. Tobatan nasuha merupakan awal seseorang yang beriman kepada Allah untuk berhijrah menghindar dari musuh yang nyata (‘aduwum mubin) yang berupaya menguasainya. Perjuangan semacam ini akan ditolong oleh Allah dengan rahmat-Nya (kasih saying-Nya). Allah  berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah : 218).

2. Sekiranya kaum mukmin sangat berharap mendapatkan Al-Hikmah atau ilmu laduni, maka dia sepatutnya menyadari bahwa karunia Allah diberikan dalam rangka menundukkan keangkuhan diri di hadapan kemahabesaran Allah Azza wa Jalla. Dia sangat membenci orang yang sombong dan membangga-banggakan diri;

3. Derajat manusia sangat ditentukan oleh ketakwaannya, bukan disebabkan oleh keturunan atau kedudukan (jabatan/pangkat/gelar/tahta). Siapa pun memiliki hak yang sama di sisi Allah apabila dia telah menjadi hamba-Nya yang tunduk dan patuh kepada-Nya.

Allah  sangat menghendaki agar kaum mukmin segera berubah, minadhdhulumati ila nuur (dari kegelapan menuju cahaya terang benderang). Berhijrah dan berjuanglah. Carilah wasilah (perantara) untuk mendekati-Nya. Allah  pasti menolongnya dengan kemahabesaran-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah perantara (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al-Maa’idah : 35).
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post

6 komentar

avatar

Assalamualaikum Wr.Wb.,

Pak Ahmad dalam surat Al-Anam 130: Hal golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri...dst

Mohon dapat dijelaskan dari pengertian di atas tentang rasul dari golongan kamu sendiri (dalam hal ini golongan jin)

Terima kasih

sang murid

Terim kasih

avatar

Wa 'alaikum salam wr. wb.

Ayat tersebut (Q.S. Al-An'am : 130) berlaku untuk keduanya! Jin dan manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah hanya kepada-Nya! Mereka menerima perintah dengan merujuk ayat yang sama, surat Adz-Dzariyat ayat 56:

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku."

Jin, yang iblis adalah juga dari golongan jin, ada yang taat kepada Allah Swt. Sebagaimana manusia, jin sesungguhnya belajar Al-Qur'an dengan mendengarkan ayat-ayat yang dibacakan oleh manusia, sejak pertama kali dihadapkan (serombongan jin) kepada Rasulullah Saaw yang membacakan ayat-ayat-Nya. Sejak saat itu sampai sekarang, jin belajar kepada manusia yang menyeru kepada Allah agar beriman kepada-Nya.

Berikut ini beberapa ayat yang menegaskan pengakuan jin dalam belajar lewat seruan yang dilakukan manusia tentang ayat-ayat Allah:

"Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Qur'an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan" (Q.S. Al-Ahqaaf : 29).

"Mereka berkata: "Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus" (Q.S. Al-Ahqaaf : 30).

"Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari adzab yang pedih" (Q.S. Al-Ahqaaf : 31).

"Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari adzab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata" (Q.S. Al-Ahqaaf : 32).

Dari ayat-ayat di atas, maka sebenarnya yang dimaksud rasul dari golongan kamu sendiri (rusulun minkum, bukan ma'syaro) tidak dimaknai sebagai golongan jin dan manusia secara zat-nya, melainkan rasul dari golongan manusia (minan naas) yang sama-sama sebagai utusan Allah untuk golongan (makhluk) jin dan makhluk manusia. Mereka (para jin) telah mengakui Musa sebagai Rasul Allah di zamannya (Musa). Kemudian, setelah lahir beliau (nabiuna Muhammad yang mulia) sebagai Rasululullah Saaw, jin yang beriman mengakuinya juga sebagai utusan Allah yang telah membacakan ayat-ayat-Nya!

Jin, sebagaimana manusia, juga hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa! Dalam kehidupan jin, mereka juga memiliki pemimpin! Karena itu, jin yang menjadi pemimpin menyeru dengan menggunakan panggilan: "Hai kaum kami."

Oleh karena itu, sangat tidak beralasan manusia menjadikan jin sebagai Tuhan (sekutu Allah) yang dianggap dapat memenuhi seluruh keperluannya. Jin sekalipun makhluk goib sesungguhnya tidak selalu tahu perkara goib! Allah Swt berfirman:

"Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan", tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan" (Q.S. Al-An'am : 100).

Bahwa jin tidak mengetahui perkara goib, Allah Swt menegaskan pada ayat berikut:

"Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan" (Q.S. Saba : 14).

avatar

Assalamualaikum Wr.Wb.,
Dunia ini adalah sebuah perjalanan menuju kepadanya,
ada sebagian orang yang diberikan kecerdasan diatas rata-rata manusia biasa sehingga dia mampu dengan ijin Allah SWT, memahami ilmu alam qoib karena kebersihan dan keimanan hati mereka.

Tetapi Allah SWT maha pemurah bagi hambanya, Allah menurunkan Alqur'an yang penuh hikmah melalui nabi Muhamad saw, agar semua manusia bisa menerima ilmu Allah melalui membaca alqur'an, didalam alqur'an ada bimbingan syariat yang harus dipatuhi oleh umat manusia.

Setelah membaca ayat-ayat yang tersurat dalam Alqur'an, maka manusia akan mampu membaca ayat-ayat yang tersirat dalam alam ini,kita baru bisa bersaksi seyakin yakinnya dengan sifat-sifat Allah SWT, Sehingga syahadat kita lebih benar karena pengetahuan kita tersebut.

setelah bersaksi lalu kita mulai melaksakan sholat lima waktu secara khusyu,kemudian mengeluarkan zakat, berpuasa setelah itu bila kita mampu maka pergilah mendatangi panggilan Allah SWT menuju baitullah,

Hakikatnya hidup ini kita harus mampu mengenal Allah sebelum mati, semua itu bisa kita capai dengan cara menegakan syariat islam yang ada dalam Alqur'an sebagaimana telah dicontohkan nabi kita Muhammad saw.

Bagaimana kita bisa pergi kesuatu tempat, tetapi tempat itu sangat asing bagi kita, apabila tanpa informasi dan bekal yang cukup maka kita akan sengsara ditempat yang kita tuju tersebut.

kembali kepada ilmu laduni yang kita bahas, itu adalah "suatu pemandangan yang biasa dalam perjalanan". Ingat perjalana yang kita tuju masih sangat jauh, yang kita tuju lebih indah dari yang kita saksikan sekarang, teruskanlah dzikirmu lebih khidmat lagi, nikmatilah keintimanmu saat kau bertasbih,tahmid,takbir dan tahlil, hingga kau diijinkan menemuiNya ditempat yang telah ditetapkan.

avatar

Wa 'alaikum salam wr. wb.


Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah. Sudah sepatutnya kaum mukmin memuji Allah atas anugerah karunia-Nya yang tak dapat dibalas dengan sebanyak apa pun yang dimiliki dari harta bendanya. Allah Maha Kaya lagi tak membutuhkan pemberian dari makhluk-Nya. Adab kesolehan dalam merespon pemberian karunia dari Allah adalah bersyukur dengan setulus hati.

Berbahagialah kaum mukmin yang disayangi Allah. Sebab ada orang mukmin yang tidak disayangi Allah, melainkan seolah-olah telah memperoleh perhatian-Nya. Padahal tidak diberi perhatian, selain dibiarkan terombang ambing di dalam keangkuhan dirinya. Orang angkuh pasti dibenci oleh Allah.

Apa yang merasa dirinya bisa, sesungguhnya tidak terjadi dengan sendirinya. Allah lah Yang Maha Pemberi yang terbaik sehingga seseorang bisa berbuat dengan kecerdasan akal yang dikaruniai Allah. Akal, di sisi lain, yang sering diunggulkan oleh kebanyakan umat manusia, tak lebih sesungguhnya hanya dibatasi dimensi ruang dan waktu. Dengan keterbatasan seperti itu, maka akal sering mengalami distorsi penyimpulan dalam menganalisis pembicaraan atau topik tertentu yang tematik. Kekeliruan orang yang hanya menyandarkan akalnya sering mengalami ketumpulan dalam mengagungkan kemahabesaran Allah.

Dalam perkataan seolah mengagungkan, tetapi hatinya masih terselip keraguan terhadap kebenaran ayat-ayat-Nya. Dikisahkan mengenai kekuasaan Allah, tetapi masih susah untuk mendengarkan suara hatinya. Keluasan ilmu manusia berada di dalam keterbatasan akalnya. Maka, ketajaman hati ditumpulkan oleh dominasi kecerdasan akalnya. Bila terjadi hal demikian, maka kerugianlah yang didapatkan.

Kita, sekiranya sebagai orang yang takut kepada Allah, tidak dapat hanya dengan mengetahui secara lahiriah (ilmu-ilmu yang diperoleh secara dhohir) dengan berani menyebut keluasan ilmu Allah direspon dengan ketidakpatutan dalam menyampaikan ketakjuban atas apa yang dianugerahkan Allah kepada seorang hamba. Karekteristik kaum yang takut kepada Allah Yang Maha Berkuasa lagi Maha Pemaksa tak akan berkata-kata sekedarnya saja, melainkan dengan penuh kerendahan akan berkata-kata menunjukkan rasa bersyukur kepada-Nya: “Sungguh luar biasa ilmu laduni yang telah diperoleh seorang hamba dari Allah Azza wa Jalla.”

Mengapa harus begitu? Ilmu laduni adalah anugerah karunia dari Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana yang dicurahkan ke dalam hati orang yang telah terpilih, tidak semua orang mendapatkannya. Curahan rahmat dari Dia (Allah) kepada seorang hamba diilhamkan ke dalam hatinya, bukan ke dalam otaknya. Ketakwaan seseorang terakumulasi dari serangkaian proses tingkat amaliahnya dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ke dalam hatinya, Allah ilhamkan ketakwaan (lihat QS. Asy-Syamsi : 8). Jelaslah Allah yang menganugerahkannya, bukan karena seorang pelaku ibadah telah beribadah dengan pemahaman lahiriahnya, melainkan karena rahmat-Nya.

(bersambung)

avatar

(sambungan)


Keluasan ilmu Allah takkan dapat dicapai oleh orang-orang yang tidak pandai menyanjung Allah sepenuh hati di setiap waktu dan keadaan. Dzikrullah merupakan perintah Allah Yang Maha Pencipta kepada semua kaum mukmin tanpa terkecuali (lihat QS. Al-Ahzab : 41). Dzikir untuk mencintai Allah diseru di dalam hati dengan merendahkan diri dan rasa takut (lihat QS. Al-A’raf : 205). Pasti Allah akan menurunkan ketenteraman di dalam hatinya (lihat QS. Ar-Ra’du : 28). Kemudian Allah tambah keimanannya (adanya peningkatan kualitas keimanan) (lihat QS. Al-Fath : 4).

Ilmu laduni bukan sekedarnya saja dicurahkan kepada hati seorang hamba, melainkan sebagai bukti akan kasih sayang-Nya. Kepada seorang hamba yang telah mendapatkannya, Allah bermaksud mendudukkan dirinya menjadi seorang hamba yang mulia di sisi-Nya! Ketakwaannya lah yang mendudukkan kemuliaan seorang hamba berada di sisi-Nya; ketundukan dan kepatuhan terhadap apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya; kerendahhatian karena takut menyebabkan menjadi sombong dan takabur dalam perkataan dan perbuatan; menyandarkan hanya kepada hatinya yang telah diilhamkan ketakwaan; menjauhi ketidakpatutan dalam memuji karunia Allah; memohon ampunan di setiap khilafnya; sangat berhati-hati dalam setiap diam dan geraknya; tidak menganggap dirinya dicitrakan oleh hawa nafsunya merasa bisa dan mampu melebihi dari orang lain; hidupnya bukan mengikuti hawa nafsunya selain mengikuti kehendak-Nya; menghormati umat Nabi-Nya dengan perasaan yang mengharap akan kasih sayang-Nya; mendahulukan hati daripada akalnya dan lain-lain ketidakberdayaan di dalam keluasan ilmu Allah.

Itulah yang terbesit dari dalam hati menanggapi tanggapan saudara “Anonim.” Alangkah lebih indah sekiranya namanya tidak disembunyikan. Siapa tahu kita dipertemukan dalam keluasan ilmu Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Kurang dan lebihnya saya berharap tidak dimaknai sebagai uraian pembalasan yang menjauhkan dari silaturahmi. Atas komentarnya, saya patut menyampaikan banyak terima kasih.


Salam dariku,

Ahmad

avatar

Subhanallah. SyukurYa Allah,amat jelas sekali,tenang dan lancar penghuraiannya. Terima kasih tuan.
Kurniaan kefahaman dan penyampaian lahiriah sahaja sudah tidak ternilaikan apa lagi yang di dalamnya.


EmoticonEmoticon

Post a Comment

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner